Jakarta –
Pemerintah menjamin bakal membayar utang Rp 474,8 miliar program satu harga minyak goreng atau rafaksi kepada para pengusaha. Kementerian Perdagangan (Kemendag) menjelaskan hal itu saat ini sedang berproses.
“Sedang proses, ini udah proses, masih menunggu rakornya (rapat koordinasi), sekarang sudah berproses,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Isy Karim, di Kantor Kemendag, Jakarta Pusat, Jumat (19/4/2024).
Meskipun demikian, Isy mengatakan bahwa pemerintah akan membayar total utang sebesar Rp 474,8 miliar sesuai audit yang dilakukan PT Sucofindo, bukan Rp 344 miliar kepada ritel sebagaimana diklaim Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO).
“Ya enggaklah. Sesuai hasil Sucofindo. Itu harus dicek lagi angkanya. Kan per perusahaan,” tegasnya.
Isy kemudian menjelaskan bahwa utang tersebut akan dibayar dulu ke produsen minyak goreng baru ke ritel. Tapi ia enggan menjawab ketika dikonfirmasi perihal tanggal pasti pembayaran tersebut bisa dilakukan.
“Tidak sampai Oktober, pokoknya kita kerjakan secepatnya. Saya tidak mau janji-janji,” ujar dia.
Sebelumnya berdasarkan catatan forexbitcoinstock, pemerintah pada 19 Januari 2022 memberi penugasan kepada produsen minyak goreng dan APRINDO untuk menjual minyak goreng murah saat harga komoditas itu mahal.
Kala itu semua pengusaha diminta menjual minyak goreng seharga Rp 14.000 per liter, sementara itu harga minyak goreng di pasaran saat itu berkisar di angka Rp 17.000-20.000 per liter.
Selisih harga atau rafaksi tersebut diatur dalam Peraturan Kementerian Perdagangan (Permendag) 3 disebut akan dibayarkan pemerintah. Masalah muncul ketika Permendag 3 diganti dengan Permendag 6 tahun 2022.
Beleid baru itu membatalkan aturan lama soal rafaksi yang ditanggung pemerintah. Padahal, seharusnya utang pemerintah kepada pengusaha tetap harus dibayarkan.
Adapun terkait dengan perbedaan selisih pembayaran rafaksi, surveyor yang digunakan oleh pemerintah adalah PT Sucofindo yang mengeluarkan hasil verifikasi nilai pergantian selisih harga atau rafaksi sebesar Rp 474,8 miliar. Nilai itu berbeda dengan klaim produsen senilai Rp 812 miliar dan peritel Rp 344 miliar.
(kil/kil)