Jakarta –
Sri Lanka gagal mencapai kesepakatan mengenai restrukturisasi utang senilai US$ 12 miliar atau sekitar Rp 193,2 triliun (kurs Rp 16.100) dengan para pemegang obligasinya.
Kondisi ini bakal mempersulit rencana Sri Lanka untuk memenuhi persyaratan program Dana Moneter Nasional (International Monetary Fund/IMF).
“Komite pengarah tidak menyetujui perpanjangan diskusi terbatas,” kata keterangan pemerintah Sri Lanka dalam pengajuan peraturan ke London Stock Alternate, dilansir dari Reuters, Selasa (16/4/2024).
Setelah melakukan pembicaraan dengan para pemegang obligasi di sela-sela pertemuan IMF dan Financial institution Dunia di Washington, Pemerintah Sri Lanka mengatakan gagal mencapai konsensus mengenai proposal pemegang obligasi yang diajukan awal bulan ini.
Sri Lanka tidak setuju dengan usulan pembayaran utang yang diajukan pemegang obligasi karena usulan tersebut berbeda dengan analisis utang negara yang dilakukan oleh IMF.
Setelah pengumuman tersebut, nilai obligasi Sri Lanka turun. Perjanjian yang sangat dinanti-nantikan ini pada prinsipnya diperlukan bagi Sri Lanka untuk menyelesaikan peninjauan kedua program bantuan senilai US$ 2,9 miliar dari IMF.
“Menyelesaikan tinjauan IMF pada bulan Juni menjadi sulit sekarang karena harus ada lebih banyak pembicaraan,” kata Udeeshan Jonas, kepala strategi di perusahaan riset ekuitas CAL Community.
Sri Lanka berharap dapat melanjutkan pembicaraan dengan pemegang obligasi sesegera mungkin menjelang peninjauan kedua program IMF.
Sri Lanka terjerumus ke dalam krisis keuangan terburuk sejak kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1948 setelah cadangan devisanya turun pada awal tahun 2022 sehingga tidak mampu membayar kebutuhan pokok termasuk bahan bakar, gas untuk memasak, dan obat-obatan.
Negara kepulauan ini gagal membayar utang luar negerinya pada Mei 2022 dan memulai negosiasi dengan kreditor bilateral beberapa bulan kemudian, yang akhirnya mendapatkan kesepakatan prinsip dengan China, India, dan Paris Club pada November lalu.
Sri Lanka juga memerlukan perjanjian dengan masing-masing kreditor bilateral, termasuk Financial institution Ekspor-Impor China untuk menyelesaikan proses peninjauan IMF.
Didukung oleh program IMF, inflasi Sri Lanka melonjak menjadi 0,9% pada bulan Maret dan mata uangnya mengalami penguatan sebesar 7,6% sepanjang tahun ini. Perekonomian secara keseluruhan di negara itu diperkirakan akan kembali tumbuh setelah mengalami kontraksi 2,3% pada tahun 2023.
(hal/hns)