Jakarta –
Fenomena masyarakat berbondong-bondong pulang ke kampung halaman selalu terjadi menjelang lebaran Idul Fitri. Lantas apakah kegiatan mudik itu menjadi suatu kewajiban di saat lebaran?
Berbagai perbedaan pandangan di masyarakat muncul terkait mudik. Ada yang beranggapan mudik bersifat wajib karena jadi momen bersilaturahmi dengan keluarga atau salah satu bentuk bakti terhadap orangtua dan saudara. Ada juga yang menganggapnya sebagai sebuah tradisi, dan tidak ada keharusan dalam Islam.
Bagaimana sebenarnya mudik jika dilihat dari pandangan agama Islam? Apakah mudik berlandaskan atas kesadaran relijiusitas dalam hal ini agama atau sekadar budaya?
Wakil Ketua Wantim MUI Zainut Tauhid memberikan pandangannya terkait makna mudik. Zainut meminta adanya perbedaan pandangan itu tidak menjadi polemik terlebih saling menyalahkan.
“Dalam memaknai mudik lebaran ini umat Islam tidak perlu menjadikan polemik atau reliable kontra, apalagi saling menyalahkan sehingga menimbulkan perpecahan diantara umat Islam. Mudik lebaran memang tidak masuk kategori ibadah mahdhah atau ibadah yang sudah ditentukan aturannya dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, seperti shalat, zakat, dan haji,” ujarnya.
Zainut mengatakan mudik lebaran masuk dalam kategori ibadah ghairu mahdhah yang diartikan sebagai ibadah yang tidak ditentukan aturannya baik di al-Qur’an maupun al-Hadits. Tetapi mudik masuk sebagai perbuatan yang bisa mendatangkan kebaikan, baik kepada diri sendiri maupun orang lain.
Menurut Zainu, jika mudik dilaksanakan dengan niat ikhlas karena Allah SWT, maka bisa mendatangkan pahala. Contoh ibadah ghairu mahdhah yang disebutkan Zainut yakni seperti belajar, mencari nafkah untuk keluarga, menolong sesama yang sedang dalam kesulitan, dan lain sebagainya.
“Jadi menurut saya sebaiknya mudik lebaran tidak perlu dijadikan polemik karena dapat menimbulkan perpecahan di kalangan umat. Bagi yang setuju silakan melaksanakan, bagi yang tidak setuju tidak usah menyalahkan. Karena hal tersebut tidak akan merusak keimanan kita. Sehingga tidak ada manfaatnya untuk diperselisihkan,” ucapnya.
Zainut mengatakan hal itu tergantung dengan niat melaksanakan mudik. Mudik akan membawa manfaat jika dilakukan untuk membangun silaturahmi. Namun jika ingin pamer kekuasaan atau keberhasilan, mudik tidak akan mendatangkan pahala.
“Semua kembali kepada niatnya, jika niat mudik untuk membangun silaturahmi dengan orang tua, saudara, kerabat dan teman-teman, tidak melakukan kezaliman, meninggalkan shalat dan tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama, insyaallah mudiknya membawa manfaat dan mendapat pahala,” ujarnya.
“Tapi jika niat mudiknya karena ingin pamer kekayaan, kesuksesan dan keberhasilan, melakukan perbuatan dosa seperti mabuk-mabukan, menipu, menzalimi orang, meninggalkan kewajiban shalat dan lainnya, maka mudiknya tidak mendatangkan pahala apa-apa bahkan berdosa,” lanjut Zainut.
Zainut mengatakan momen mudik yang merupakan salah satu bentuk budaya yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, justru menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa.
Mantan Wamenag ini lantas bercerita kisah rindu kepada kampung halaman yang pernah dirasakan Rasulullah SAW. Hal itu terungkap dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam at-Tirmizi yang dilukiskan dengan indah jalinan cinta yang kuat antara Rasulullah SAW dengan kota kelahirannya Makkah :
“Betapa indahnya engkau wahai negeriku (Mekkah). Betapa saya sangat cinta kepadamu. Sekiranya kaumku tidak mengusirku darimu, niscaya aku tidak akan tinggal di tempat lain selainmu“.
Ucapan ini dilontarkan Rasulullah SAW dengan berlinang air mata saat meninggalkan kota kelahirannya, Mekkah. Rasulullah terpaksa hijrah ke Madinah karena tekanan dan penganiayaan kaum Quraisy.
Zainut mengatakan hadis tersebut menggambarkan betapa dalam cinta Rasulullah kepada tanah kelahirannya. Ia lantas mengutip Quraish Shihab yang mengatakan mudik bukan sekadar pulang kampung, mudik adalah sebuah perjalanan non secular yang penuh kelezatan rohani. Mudik adalah kelezatan rohani yang tiada tara.
“Itulah alasan orang-orang rela menempuh perjalanan jauh, menghabiskan waktu dan biaya, demi merasakan kembali kehangatan keluarga dan kampung halaman,” ujar Zainut.
(eva/imk)