Jakarta –
Pertumbuhan sektor manufaktur di Indonesia pasca pandemi COVID-19 di Indonesia sudah mulai pulih dan mulai menunjukkan perkembangan positif. Namun sektor manufaktur kini masih menemui berbagai tantangan sehingga performanya masih belum maksimal.
Ekonom LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UI, Teuku Riefky menyebutkan sektor manufaktur kini merupakan penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar dalam perekonomian Indonesia.
“Kalau kita lihat faktor apa yang mempengaruhi, ada bermacam-macam, dari sisi daya saing tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja, investasi yang masuk, iklim persaingan usaha, infrastruktur dan berbagai macam faktor lainnya,” katanya, Minggu (7/4/2024).
Menurut Riefky ada berbagai kebijakan yang dikeluarkan berbagai kementerian atau lembaga negara yang dengan sendirinya memberikan imbas negatif pada performa sektor industri manufaktur.
“Saya tidak menyebutkan kementerian mana secara spesifik, tapi banyak kebijakan dari sisi regulasi, investasi, perbaikan infrastruktur, kemudahan berusaha, serta regulasi terkait misalnya akuisisi lahan yang memberikan dampak negatif terhadap industri dalam negeri,” beber Riefky.
Riefky juga menjelaskan bahwa sisi kebijakan fiskal Indonesia seperti bea masuk dan sebagainya ikut punya andil dalam daya saing sektor industri manufaktur Indonesia.
“Dari sisi bea masuk juga tentu ada dampaknya terhadap daya saing industri nasional,” tambah Riefky.
Dalam konteks itu menurutnya Indonesia pemerintah perlu mengekspos sektor industri dalam negeri untuk mampu bersaing menghadapi industri luar negeri, namun pemerintah harus jelas dalam memberikan insentif untuk industri agar dapat bersaing dengan baik.
“Industri kita perlu diekspos pada persaingan dengan produk-produk luar disertai dengan insentif . Namun bukan berarti harus diproteksi secara utuh, kemudian tidak terekspos dari sisi persaingan terhadap kondisi global,” tutup Riefky.
Dari recordsdata S&P Global Procuring Supervisor’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada bulan Maret 2024 yang berada di level 54,2 atau naik 1,5 poin dibanding capaian bulan Februari yang menyentuh angka 52,7.
Angka tersebut menunjukkan bahwa sektor industri manufaktur Indonesia sedang berada pada posisi ekspansif selama 31 bulan berturut-turut. Ini sejalan juga dengan capaian Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada bulan Maret yang sama-sama berada pada fase ekspansi di level fifty three,05.
Kinerja PMI Manufaktur Indonesia pada Maret 2024 lebih baik dibandingkan PMI Manufaktur negara-negara peers yang masih berada di fase kontraksi, seperti Malaysia (Forty eight,4), Thailand (49,1), Vietnam (49,9). Bahkan pencapaian tersebut lebih baik dari beberapa negara industri maju seperti Jepang (Forty eight,2), Korea Selatan (49,3), Jerman (41,6), Prancis (45,8), dan Inggris (49,9).
HGBT bisa Geber Daya Saing
Ketua Umum Discussion board Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), Yustinus Gunawan mengungkapkan bahwa kebijakan HGBT sangat berdampak positif bagi industri nasional.
“Kebijakan HGBT membuat industri nasional tumbuh dan continue to exist dan berkontribusi terhadap peningkatan pajak, penambahan devisa dengan peningkatan ekspor dan penghematan devisa karena penurunan impor, peningkatan investasi serta penambahan serapan tenaga kerja,” ungkap Yustinus.
Tujuh sektor penerima HGBT meliputi pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, sarung tangan karet memberikan nilai tambah bagi sektor perekonomian nasional mencapai Rp157,2 triliun.
Oleh karena itu, kelanjutan kebijakan HGBT yang akan habis pada Desember 2024 merupakan keniscayaan atau sesuatu yang tidak bisa tidak dilaksanakan.
“Hal ini untuk menjaga momentum industrialisasi dan menjaga kepercayaan investor yang sedang merealisasi pabrik-pabrik dengan skema HGBT dan ke depannya,” ujar Yustinus.
Anggota Komisi VII DPR-RI, Mukhtarudin menyebut bahwa kebijakan HGBT memiliki posisi sangat penting dan strategis untuk kinerja industri nasional.
Dia pemerintah untuk memperpanjang kebijakan program HGBT. “Terkait kebijakan HGBT untuk industri khususnya yang di 7 sektor yang sudah diputuskan Pemerintah pada masa yang lalu, HGBT ini dan posisinya sangat penting dan strategis dalam konteks subsidi pupuk,” ujarnya.
Di sisi lain, dirinya juga meminta adanya perluasan sektor industri penikmat harga gas murah. Hal ini perlu dilakukan agar industri di Tanah Air dapat berdaya saing. Diketahui, situasi ekonomi global saat ini tengah dihadapkan sejumlah tantangan.
Untuk itu, kinerja industri dalam negeri perlu didongkrak agar berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. “Karena kalau HGBT ini tidak dilanjutkan, maka tentu sangat berpengaruh terhadap industri,” jelas dia.
(kil/kil)